Etika Profesi Seorang Akuntan
Kamis, 29 Oktober 2009
Etika secara harfiah bermakna pengetahuan tentang azas-azas akhlak atau moral. Etika secara terminologi kemudian berkembang menjadi suatu konsep yang menjelaskan tentang batasan baik atau buruk, benar atau salah, dan bisa atau tidak bisa, akan suatu hal untuk dilakukan dalam suatu pekerjaan tertentu. Istilah kode etik kemudian muncul untuk menjelaskan tentang batasan yang perlu diperhatikan oleh seorang profesional ketika menjalankan profesinya.
Seperti halnya profesi-profesi yang lain, Akuntan juga mempunyai kode etik yang digunakan sebagai rambu-rambu atau batasan-batasan ketika seorang Akuntan menjalankan perannya. Pemahaman yang cukup dari seorang Akuntan tentang kode etik, akan menciptakan pribadi Akuntan yang profesional, kompeten, dan berdaya guna. Tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang kode etik, seorang Akuntan akan terkesan tidak elegan, bahkan akan menghilangkan nilai esensial yang paling tinggi dari profesinya tersebut.
Di awal bahasan, terlebih dahulu akan dipaparkan tentang sejarah kemunculan dimensi etik keprofesian. Sejarah ini mencakup variasi pemikiran yang berkembang tentang etika yang dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga zaman modern seperti saat ini. Selanjutnya, pada bahasan-bahasan berikutnya akan dipaparkan dimensi-dimensi yang terkait dengan kode etik profesi Akuntan.
A. Etika : Sejarah Kemunculan dan Variasi Aliran Pemikiran.
Perkembangan wacana etika tidak dapat dilepaskan dari berbagai pemikiran atas etika yang telah berlangsung berpuluh-puluh abad yang lalu diYunani. Suseno (dalam Ludigdo, 2007) menyatakan bahwa kita harus mengakui bahwa pemikiran filsafat yang berkembang dewasa ini tidak terlepas dari kuatnya pengaruh filsafat Yunani. Filsafat Yunani yang juga meliputi metafisika dan etika ini, berkembang bermula dari filsafat alam.
Pemikiran awal tentang etika dapat ditelusuri dari pemikiran murid-murid Pytagoras (570-496 SM). Pemikiran etika yang berkembang dikalangan murid Pytagoras tersebut adalah bahwa badan merupakan kubur jiwa, sehingga jika manusia menginginkan jiwanya bebas dari badan maka dia perlu menempuh jalan pembersihan. Jalan ini adalah bertapa dan bekerja secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika serta menyertakan musik dan gimnastik sebagai penertib dan penyelarasnya. Bagi mereka, dalam kehidupan bersama, persahabatan dan persaudaraan semua orang merupakan nilai tertinggi. Pemikiran yang demikian kemudian disambung oleh pemikiran Democritus (460-371 SM) yang mengajarkan suatu aturan kehidupan bahwa manusia hendaknya mengusahakan keadilan. Dan masih menurut Democritus, nilai tertinggi dala kehiduoan adalah pencapaian pada apa yang enak (yang kemudian menjadi sebuah kerangka untuk berkembangnya hedonisme).
Selanjutnya Kaum Sofis (kaum bijak tapi dikenal kurang baik pada zaman Yunani klasik) berpendapat bahwa baik atau buruk lebih merupakan masalah keputusan masing-masing atau kesepakatan bersama daripada suatu aturan abadi. Hukum tidaklah abadi dan tidak pula berlaku umum, tergantung kesepakatan yang mungkin berbeda pada tempat berbeda. Sampai-sampai salah satu dari mereka Antiphon, menyatakan bahwa hukum boleh saja dilanggar dengan tenang asal tidak ada yang melihatnya. Namun pandangan ini kemudian dipatahkan oleh kalangan yang dekat dengan mereka sendiri, yaitu Socrates. Socrates (469-399 SM) membuka dan memperlihatkan bahwa pengandaian-pengandaian kaum Sofis tidak dapat diperatahankan. Untuk itu Socrates membawa manusia kepada paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi anggapannya sendiri.
Pemikiran besar tentang etika dari era Yunani juga lahir dari Plato (427-348 SM), di mana yang sangat fenomenal darinya adalah ajarannya tentang idea. Mendasarkan pada perumpamaan sebuah setting cerita dalam gua. Plato memperlihatkan bahwa apa yang pada umumnya dianggap kebenaran masih jauh sekali dari realitas sebenarnya. Bahwa hanya kalau manusia berani keluar dari gua, ia dapat sampai pada realitas yang sesungguhnya. Gua dalam hal ini adalah penggambaran dari kegelapan dan kesempitan cara pikir manusia yang hanya terbatas pada suatu kerangka yang dapat dijangkau dengan media materi, dan itulah realitas inderawi. Menurut Plato, realitas yang sebenarnya bersifat rohani (jiwa) dan disebutnya idea ini adalah idea yang baik. Idea yang baik adalah sang baik itu sendiri, dan sang baik ini adalah tujuan dari segala yang ada. Sang baik itu menurut Plato adalah Ilahi.
Idea yang baik kemudian menuntun manusia untuk hidup secara baik. Bagaimana hidup yang baik itu dicapai ? Disinilah kemudian etika Yunani akan berbeda dengan etika-etika modern dalam menunjukkan jawaban atas bagaimana hidup yang baik itu. Dalam etika Yunani, tujuannya adalah menemukan aturan dan arahan agar kehidupan manusia dapat terasa utuh dan bulat, tidak hanya asal mempertahankan kehidupannya, tetapi juga mencapai hidup yang bernilai, berhasil, tidak percuma dan bermakna. Untuk itu hidup yang baik dicapai dengan etika kebijaksanaan, bukan etika kewajiban. Orang bijaksana tidak perlu dipaksa, karena ia akan bertindak dengan memperhatikan arahan-arahan hidup yang lebih bermutu. Orang bijaksana tentunya dapat memahami kesatuan hidupnya dengan seluruh kosmos dan realitas. Pemahaman yang demikianlah yang pada akhirnya mengantarkan orang bijaksana bersikap terbuka.
Plato juga mengemukakan bahwa orang itu baik bila dikuasai oleh akal budi, sementara orang itu buruk bila dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu. Atas dasar ini maka apabila seseorang mau mencapai suatu hidup yang baik, tenang, bersatu, dan bernilai, maka seseorang tersebut harus membebaskan diri dari kekuatan irrasional hawa nafsu dan emosi serta mengarahkan diri menurut akal budi.
Sementara itu pemikiran besar lainnya di era Yunani ini datang dari Aristoteles (384-322 SM). Dia dikenal sebagai pemikir pertama yang mengidentifikasikan dan mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif (Suseno, dalam Ludigdo, 2007), dan juga dianngap sebagai filosof moral pertama dalam arti sebenarnya. Selain itu dia juga menjadipendiri etika sebagai ilmu atau cabang filsafat yang mandiri. Walaupun Aristoteles adalah murid Plato, ia menolak ajaran tentang idea dari gurunya tersebut. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal yang empiris yang mana untuk menjelaskan ini tidak perlu menerima alam idea yang abadi. Dengan bertolak dari realitasnya sendiri, manusia dapat mencapai kehidupannya yang bermutu. Manusia tidak perlu melakukan kontemplasi ataupun penyatuan dengan idea yang baik sebagaimana diajarkan oleh Plato. Pendekatan Aristoteles adalah empiris, di mana ia bertolak dari realitas nyata inderawi.
Hidup yang baik bagi manusia, menurut Aristoteles, adalah apabila ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dengan mencapai tujuan hidupnya, maka manusia telah mencapai dirinya dengan sepenuhya. Apapun tujuan hidup manusia adalah demi sesuatu yang baik dan bernilai, dan nilai inilah yang menjadi tujuan. Sesuatu yang bernilai adalah yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan. Oleh karena kebahagiaan merupakan puncak pencapaian manusia, maka tujuan akhir dari hidup manusia adalah mencapai kebahagaiaan bagi diri manusia tersebut. Pencapai kebahagiaan manusia terjadi melalui suatu tindakan. Tanpa tindakan manusia tidak mungkin berbahagia. Tindakan yang membawa pada pencapaian kebahagiaan adalah tundakan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi.
Hal lain yang menarik dari pemikiran aristoteles ini adalah tiadanya pengetahuan yang pasti mengenai tindakan manusia. Tentang ini Suseno (dalam Ludigdo, 2002) menjelaskan pandangan Aristoteles tersebut :
“ Etika tidak mungkin menetapkan dengan tepat bagaimana manusia harus bertindak. Tugas etika bukan menyediakan daftar pertanyan yang dapat dilaksanakan seakan-akan dengan mata tertutup, melainkan menyediakan semacam visi dan perspektif. Orang yang memiliki perspektif itu akan menemukan bagaimana ia harus bertindak dalam situasi konkrit. Perspektif itu disebut dengan “pengertian yang tepat”. Bertindak secara etis berarti bertindak menurut pengertian yang tepat itu”
Bagaimanapun “pengertian yang tepat” bukanlah tolak ukur yang terurai, melainkan lebih merupakan sikap batin atau ketajaman akal etis untuk memahami tindakan mana yang dalam situasi tertentu paling tepat. Betapa dalam hal yang demikian pengasahan rasa dan batin menjadi suatu keharusan. Hanya karena dengan cara itulah menjadi manusia yang berpengertian dengan tepat dapat dicapai. Bertolak dari pandangan demikian, tepat pula bila pemikiran Aristoteles disebut dengan etika kebijaksanan (Suseno, dalam Ludigdo, 2007).
Sementara itu pemikiran Epikorus (314-270 SM) tentang etika berangkat dari perlawannya terhadap belenggu kebebasan manusia. Manusia, karena pandangan dunianya yang mekanistis, telah terbelenggu oleh takdir dan mitos-mitos keagamaan. Atas dasar ini kaum Epikorean bertekad untuk menyelamatkan manusia dari budak takdir, ketakutannya terhadap dewa-dewa, dan mitos-mitos keagamaan. Oleh karenanya kaum Epikorean ini dikenal juga sebagai penganut kebebasan berkehendak. Dengan kebebasannya kemudian manusia menuju kepada kebahagiaannya. Dan kebahagiaan inilah yang merupakan inti ajaran moral Epikorus. Kebahagiaan yang dimaksud adalah yang menghasilkan nikmat. Dengan demikian yang dianggap baik secara moral adalah yang menghasilkan nikmat. Pengertian nikmat di sini adalah bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Oleh karenanya hakikat nikmat adalah ketentraman jiwa yang tenang, yang bebas dari ketakutan dan kerisauan. Dengan demikian pengertian tentang nikmat ini berbeda dengan pengertian etika moderen sebagaimana dipahami dalam hedonisme.
Pemikiran besar terakhir dari Yunani klasik berasal dari kaum Stoa. Aliran Stoa ini dikembangkan oleh para filosof dalam rentang abad ke-3 SM sampai abad ke-3 M. Aliran filsafat ini berakar dari pandangan dunia yang monoistik, yaitu kesatuan antara materiil, ilahi, dan rasional. Dengan ini, maka yang terjadi di alam semesta berlaku determinisme mutlak, di mana segala apapun yang terjadi secara pasti dan seluruhnya berada di bawah takdir.
Di dalam pemikiran etika, ajaran stoa dapat dipahami sebagai seni hidup yang menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Kebahagiaan ini dicapai dengan keberhasilan hidup manusia, dan hidup manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri. Dengan ini maka prinsip dasar dari etika stoa adalah penyesuaian diri dengan hukum alam. Kebebasan pun dapat dicapai jika manusia itu secara sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam. Dengan menyesuaikan diri atau tunduk pada alam maka manusia hanya tunduk pada dirinya sendiri, dan oleh karenanya apapun yang terjadi pada dirinya adalah kehendaknya sendiri. Dalam tekad kehendak untuk melakukan kewajiban, stoa meletakkan kebahagaiaan dalam keutamaan moral. Keutamaan-keutamaan moral yang ditanamkan stoa adalah kebijaksanaan moral, keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan.
Namun demikian, dewasa ini diskusi tentang etika pada tataran teoritis kebanyakan lebih merujuk pada dua pengelompokan besar, yaitu etika teleologi dan etika deontologi. Dua aliran besar ini telah menjadi mainstream dalam mencari pedoman untuk mengembangkan praktik etika. Bagaimanapun dua aliran pemikiran besar ini bertautan dengan pemikiran-pemikiran klasik di atas, walaupun di dalamnya telah tereduksi pemahaman modern yang sekuler semenjak abad pertengahan atau abad pencerahan di Eropa. Reduksi ini terutama berkaitan dengan pandangan pemikiran klasik atas dunia yang tidak terlepas dari keberadaan Tuhan. Demikian halnya kemudian dari dua kutub pemikiran tersebut berkembang dalam keragaman alira pemikiran etika berikutnya, dengan karakteristiknya.
Etika teleologi dikembangkan terutama oleh tokoh-tokoh besar pemikiran etika dari Eropa seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Etika teleologi ini juga dikenal sebagai etika konsekuensialisme, dan mempunyai pandangan mendasar bahwa suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat dilakukannya tindakan tersebut. Dalam hal ini Keraf & Imam (dalam Ludigdo, 2007) memberikan sebuah contoh di mana tidak selamanya mencuri selaludinilai sebagai tindakan buruk. Baik buruknya penilaian ini tidak didasarkan atas baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan ditentukan oleh tujuan dan akibat dari tindakan tersebut. Dengan demikian mencuri dapat dinilai baik jika tujuan dan akibatnya adalah baik.
Oleh karena tidak mudah menilai baik buruknya tujuan atau akibat suatu tindakan dalam kerangka etika telelologi, maka muncullah varian darinya yaitu egoisme dan utilitarainisme (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007). Etika egoisme menilai baik buruknya tindakan dari tujuan dan manfaat tindakan tersebut bagi pribadi-pribadi. Landasan pemikiran ini adalah bahwa satu-satunya tujuan moral setiap pribadi adalah untuk mengejar kepentingannya dan memajukan dirinya sendiri. Pada akhirnya egosime cenderung menjadi hedonisme, di mana tindakan baik atau buruk dinilai berdasarkan kebahagiaan atau kesenangan yang diakibatkannya. Kebahagiaan dan kesenangan tersebut biasanya bersifat lahiriah dan diukur berdasarkan kebahagiaan dan kesenangan yang berupa materi. Di sinilah kemudian pemikiran materialisme menjadi berkembang.
Sementara itu utilitarianisme berkebalikan dari egoisme. Utilitarianisme berpandangan bahwa baik atau buruknya suatu tindakan seseorang didasarkan atas tujuan atau akibat bagi kebanyakan orang (Keraf & Imam, dalam Ludigdo, 2007). Bagi seorang, dia akan mendaoat kebahagiaan jika dia melakukan tindakan atas motivasi dasar untuk mengejar akibat baik yang sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin pihak yang terlibat. Ada dua hal yang positif dari pemikiran utilitarianisme ini, yaitu menyangkut rasionalitas dan universalitasnya. Dalam hal rasionalitas, suatu tindakan dipilih dan pada gilirannya baik karena tindakan itu mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakan lainnya. Sedangkan universalitasnya berhubungan dengan alasan bahwa akibat atau nilai yang hendak dicapai diukur berdasarkan banyaknya orang atau pihak yang memperoleh manfaat dari suatu tindakan.
Aliran besar pemikiran etika kedua adalah deontologi. Tokoh besar aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804), sehingga disebut juga sebagai Kantianisme. Selain disebut Kantianisme, aliran ini juga disebut etika non-konsekuensialisme, karena penekanannya pada kewajiban maka pemikiran ini sebagai etika kewajiban. Pandangan dasar dari pemikiran etika ini adalah bahwa penilaian baik atau buruknya suatu tindakan didasarkan pada penilaian apakah tindakan tersebut sebagai baik atau buruk. Baik atau buruknya tindakan tidak terlepas dari motivasi, kemauan baik, dan watak si pelaku. Demikian halnya tindakan baik adalah suatu kewajiban. Suatu tindakan baik dilakukan bukan saja sesuai dengan kewajiban, tetapi juga dijalankan demi kewajiban pula. Atas pandangan demikian, Keraf & Imam (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa Kant merumuskan tiga prinsip pandangan etiknya :
(1) Supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, maka tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban, (2) nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan tersebut melainkan hanya tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan, dan (3) sebagai konsekuensi dari kedua prinsip tersebut, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan hormat pada diri sendiri.
Betapun demikian kedua aliran besar dalam pemikiran etika ini masih menyisakan beberapa persoalan. Dengan teleologi, kinerja moral seseorang akan dinilai baik jika tujuan dan manfaat dari tindakan yang diambilnya baik. Dalam hal ini terdapat persoalan bagaiamana hal demikian jika berangkat dari niat yang tidak baik dan juga dilakukan dengan tidak baik. Sebaiknya dalam deontologi, kinerja moral seseorang dinilai baik jika niatnya baik dan oleh karena kewajiban untuk berbuat baik. Tetapi bagaimana jika akibat dari tindakan ini tidak baik. Persoalan-persoalan demikianlah yang pada akhirnya menghadang kesempurnaan aliran-aliran etika ini.
Di luar dua kutub aliran pemikiran besar tersebut, terdapat juga pemikiran yang berbasiskan nilai-nilai agama. Di dalam agama Nasrani terdapat tokoh-tokoh seperti Augustinus dan Thomas Aquinas. Augustinus (354-430 SM) pada jamannya dianggap membawa nuansa baru tentang pemikiran etika. Dalam pemikirannya, terdapat dimensi kesadaran akan “transendensi”. Sebuah pemikiran yang sebenarnya juga telah terdapat dalam pemikiran Plato tentang “sang baik”. Namun tidak seperti Plato yang terhenti pada pemahaman secara intelektual belaka, sebagai ketertarikan jiwa manusia kepada idea yang baik. Karena tidak puas pada pemahaman yang demikian, maka Augustinus berpendapat bahwa :
Kita hanya dapat sampai pada kepada Allah dengan dorongan hati kita, yaitu “kehendak”. Kehendak itu adalah “cinta”. Di dunia ini, kita tidak dapat melihat Allah ,tetapi kita sudah dapat mencintai-Nya (Suseno, dalam Ludigdo, 2007).
Mencermati pemikiran Augustinus di atas dapat ditarik pemahaman bahwa yang menentukan kualitas moral seseorang adalah kehendak atau cinta, bukan tindakan lahiriah atau hasil lahiriah tindakannya. Inti dari moralitas terletak dalam sikap hati (sikap batin) seseorang, bukan dalam tindakan lahiriahnya. Sikap hati yang demikian tentu tidak terlepas dari hubungan transendensi manusia dengan Tuhan. Sikap hati yang selalu mengarah kepada eksistensi Tuhan tentunya akan menuntun pada perbuatan (sikap lahiriah) yang tidak bertentangan dengan eksistensi Tuhan. Dengan landasan tersebut maka Augustinus berani mengatakan, “Cintailah, dan lakukan apa saja yang kau kehendaki”.
Menyambung dari pemahaman di atas, selanjutnya Suseno (dalam Ludigdo, 2007) juga mengemukakan tiga unsur kunci yang menyatu dari pandangan etika Augustinus. Tiga unsur kunci tersebut adalah kewajiban moral, identitas diri, dan kebahagiaan. Kewajiban moral berlangsung bukan dalam kerangka untuk mentaati peraturan, tetapi karena dorongan cinta pada Tuhan. Cinta kepada Tuhan merupakan manifestasi dari penegasan atas identitas diri yang selalu tertuju pada nilai yang paling tinggi (yaitu Tuhan). Dengan memenuhi kewajiban moral tersebut seseorang kemudian dapat mencapai kebahagiaan.
Pemikir besar Eropa selanjutnya dari kalangan Kristen adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Meskipun kerangka dasar pemikirannya berangkat dari pemikiran Aristoteles, namun Aquinas memberikan dimensi lain tentang arti kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia. Menurut Aquinas, tuhan adalah tujuan akhir manusia, karena Ia adalah nilai tertinggi dan universal, dan karenanya kebahagiaan manusia tercapai bila ia memandang Tuhan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perintah moral yang paling mendasar adalah “Lakukanlah yang baik, jangan lakukan yang buruk”. Yang baik adalah apa yang sesuai dengan tujuan akhir manusia, dan yang buruk adalah apa yang tidak sesuai. Kemampuan untuk berbuat baik dan menghindari yang buruk disebut sebagai “keutamaan”.
Sedangkan dalam Islam, secara deskriptif dan sistematis, keragaman aliran pemikiran etika dalam Islam dapat ditemukan (walaupun tidak terbatas) pada karya Fakhry (1996). Dalam karyanya ini, Fakhry mengeksplorasi pemikiran dari berbagai pemikiran kalangan Islam yang bersifat rasionalistik maupun voluntaristik, serta yang berdimensi teologis maupun religius.
Dala perspektif teologis (disebut juga etika teologis), pemikiran etika antara lain berkembang dengan penekanan pada kerangka dialektis dan metodologis untuk menentukan status logis dari proporsi etis daripada membangun teori moralitas yang substansif (Fakhry, dalam Ludigdo, 2007). Penekanan pada pembahasan teologis tentang etika ini cenderung bersifat polemik. Polemik terjadi antara kalangan Mu’tazilah yang rasionalis dan kalangan Asy’ariyah serta Hambaliyah yang determinis.
Kalangan rasioanalis berpendapat bahwa kategori moral benar dan salah dapat diketahui oleh akal dan dasar kebenarannya pun dapat dijustifikasi secara rasional. Hakekat benar dan salah dapat ditetapkan secara rasional dan terlepas dari aturan-aturan Tuhan seperti tertera dalam Al-Qur’an. Sementara itu kalangan determinis berpendapat bahwa Tuhan adalah pembuat yang sebenarnya dari setiap perbuatan dan kejadian di dunia dan karenanya pekerjaan-pekerjaan yang dilekatkan pada manusia benar-benar bersifat metafora (Fakhry, dalam Ludigdo, 2007).
Dalam perspektif religius (disebut juga etika religius), pemikiran etika cenderung melepaskan kepelikan dialektika atau metodologis dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara lebih langsung berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk dalam etika religius ini adalah pemikiran Al-Ghazali.
Dalam diskusi ini pengetahuan dan perbuatan menjadi unsur pencapaian kebahagiaan. Sumber utama pengetahuan adalah Tuhan yang telah menganugerahkan kepada manusia melalui berbagai cara. Bagaimanapun dalam pengetahuan terdapat pemilahan pada ilmu-ilmu teoritis dan praktis. Etika sebagai pengetahuan tentang jiwa, sifat-sifat dan perilaku moralnya, menurut Al-Ghazali termasuk dalam pemilihan ilmu-ilmu teoritis. Namun Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa etika adalah puncak ilmu praktis, sehingga penyelidikan etika harus dimulai dengan pengtahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan, dan sifat-sifatnya. Pengetahuan ini merupakan prasyarat untuk membersihkan jiwa sebagaimana telah tercantum dalam Al-Qur’an dan merupakan pengenalan menuju pengetahuan tentang Tuhan. Sementara itu perbuatan diartikan sebagai mengekang nafsu jiwa, mengontrol amarah, dan menekan pertumbuhannya sehingga benar-benar tunduk terhadap akal. Disinilah letak kebahagiaan sejati manusia dan terbebas dari belenggu nafsu-nafsu.
Mencermati spektrum pemikiran etika sebagaimana pemaparan di atas, dapat membawa kita kepada suatu kerangka pemahaman yang lebih inklusif behwa etika sebagai refleksi atau pemikiran atas moralitas mempunyai dimensi yang sangat luas. Spektrum pemikiran etika yang disampaikan oleh para pemikir etika kemudian membentuk suatu gugusan-gugusan teoritik tentang etika. Mengambil simpul-simpul pemikira etika yang dapat di kedepankan adalah tentang bagaimana manusia mencapai kebahagiaan dalam hidup dan dalam menjalani kehidupannya.
B. Kode Etik dan Kode Etik Profesi Akuntan
Fenomena akan keberadaan kode etik keprofesian merupakan hal yang menarik untuk diperhatikan. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan besarnya tuntutan publik terjadap dunia usaha yang pada umumnya mengedepankan etika dalam menjalankan akifitas bisnisnya. Tuntutan ini kemudian direspon dengan antara lain membuat kode etik atau kode perilaku. Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan kode etik sebagai dokumen formal yang tertulis dan membedakan yang terdiri dari standar moral untuk membantu mengarahkan perilaku karyawan dan organisasi. Sementara fungsinya adalah sebagai alat untuk mencapai standar etis yang tinggi dalam bisnis (kavali., dkk, dalam Ludigdo, 2007). Atau secara prinsip sebagai petunjuk atau pengingat untuk berprilaku secara terhormat dalam situasi-situasi tertentu.
Suatu rumudan kode etik seharusnya merefleksikan standar moral universal. Standar moral universal tersebut menurut Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007) meliputi :
a. Trustworthiness (meliputi honesty, integrity, reliability, dan loyality)
b. Respect (meliputi perlindungan dan perhatian atas hak azasi manusia)
c. Responsibility (meliputi juga accountability)
d. Fairness (meliputi penghindaran dari sifat tidak memihak, dan mempromosikan persamaan)
e. Caring (meliputi misalnya penghindaran atas tindakan-tindakan yang merugikan dan tidak perlu)
f. Citizenship (meliputi penghormatan atas hukum dan perlindungan lingkungan)
Selanjutnya ada beberapa alasan mengapa kode etik perlu untuk dibuat. Beberapa alasan tersebut adalah (Adams., dkk, dalam Ludigdo, 2007) :
a. Kode etik merupakan suatu cara untuk memperbaiki iklim organisasional sehingga individu-individu daoat berperilaku secara etis.
b. Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam setiap keputusan bisnisnya.
c. Perusahan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah profesi, dimana kode etik merupakan salah satu penandanya.
d. Kode etik dapat juga dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan nilai-nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut.
e. Kode etik merupakan sebuah pesan.
Akuntan merupakan profesi yang keberadannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi yang kinerjanya diukur dari profesionalismenya, akuntan harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Penguasaan keterampilan dan pengetahuan tidaklah cukup bagi akuntan untuk menjadi profesional. Karakter diri yang dicirikan oleh ada dan tegaknya etika profesi merupakan hal penting yang harus dikuasainya pula.
Etika profesi akuntan di Indonesia dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika. Struktur yang demikian itu setidaknya memberikan gambaran akan kebutuhan minimal bagi profesi akuntan untuk memberi jasa yang efektif kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut Brooks (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa dalam suatu pedoman akuntan yang dibuat seharusnya berisi beberapa poin pokok. Beberapa poin pokok tersebut adalah :
1. Spesifikasi alasan aturan-aturan umum yang berhubungan dengan :
a. Kompetensi teknis
b. Kehati-hatian
c. Obyektifitas
d. Integritas
2. Memberikan respon :
a. Untuk berperilaku memenuhi kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat
b. Untuk memecahkan konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, dan antara pihak yang berkepentingan dan akuntan.
3. Memberikan dukungan atau perlindungan bagi akuntan yang akan “melakukan sesuatu dengan benar” (misalnya dengan kode dan laporan masalah etisnya)
4. Menspesifikasikan sanksi secara jelas hingga konsekuensi dari kesalahan akan dipahami.
Dalam kongres V Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) di Surabaya 20-30 Agustus 1986, telah berhasil disahkan butir-butir kode etik profesi akuntan. Kode etik yang dibentuk pada tahun tersebut terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :
1. Untuk profesi akuntan secara umum
2. Khusus untuk akuntan publik, dan
3. Penutup
(Pemaparan lengkap butir-butir kode etik profesi akuntan tersebut tercantum dalam buku pedoman kode etik profesi akuntan)
Mukadimah prinsip etika profesi akuntan antara lain menyebutkan bahwa dengan seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku. Selain itu prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi delapan butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007). Kedelapan butir pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Delapan butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut :
1. Tanggung jawab profesi : bahwa akuntan di dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan publik : akuntan sebagai anggota IAI berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepentingan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas : akuntan sebagai seorang profesional, dalam memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya tersebut dengan menjaga integritasnya setinggi mungkin.
4. Obyektifitas : dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya, setiap akuntan sebagai anggota IAI harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan kepentingan.
5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional : akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan : akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7. Perilaku profesional : akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
8. Standar teknis : akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas.
Untuk memberikan pedoman etika yang spesifik di bidang etika profesi akuntan publik , IAI Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) telah menyusun aturan etika . dalm hal keterterapan aturan ini mengharuskan anggota IAI-KAP dan staf profesional (baik yang anggota maupun yang bukan anggota IAI-KAP) yang bekerja di suatu kantor akuntan publik untuk mematuhinya. Aturan etika ini meliputi pengaturan tentang :
1. Independensi, Integritas, dan Obyektifitas.
Aturan etika ini memberikan pedoman bagi anggota untuk mempertahankan sikap mental yang independen dalam menjalankan tugas profesionalnya. Selain itu anggota juga harus mempertahankan integritas dan obyektifitasnya dengan antara lain menghindari benturan kepentingan dalam menjalankan tugasnya.
2. Standar umum dan prinsip akuntansi
Aturan ini mengharuskan anggota untuk mematuhi berbagai standar dan interpretasinya yang ditetapkan oleh IAI, sehingga dalam hal ini disebutkan kepatuhan atas standar umum, kepatuhan terhadap standar dan prinsip-prinsip akuntansi.
3. Tanggung jawab kepada klien
Dalam bagian ini diatur tentang informasi klien yang rahasia dan fee profesional (besaran fee dan fee kontinjen)
4. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi
Dalam hal ini anggota harus memperhatikan tanggung jawab kepada rekan seprofesi, komunikasi antar akuntan publik dan perikatan atestasi.
5. Tanggung jawab dan praktik lain
Aturan ini memberikan pedoman yang menyangkut : (a) penghindaran atas perbuatan dan perkataan yang mendiskreditkan profesi, (b) iklan, promosi, dan kegiatan pemasaran lainnya, (c) komisi dan fee referral, serta (d) bentuk organisasi dan KAP.